Minggu, 02 Agustus 2015


 AGNIHOTRA









Agnihotra berasal dari kata Sansekerta dimana terdiri dari dua kata yaitu Agni dan Hotra. Agni adalah api dan Hotra adalah persembahyangan atau melakukan persembahan. Jadi agnihotra adalah sebuah ritual atau bentuk upacara persembahan.  Secara umum semua yajna dalam Veda mempunyai arti sama yaitu Agnihotra. Sebab pengertian yajna dalam Veda adalah persembahan yang dituangkan ke dalam api suci. Api suci yang dimaksud adalah api yang dihidupkan dan dikobarkan dalam kunda. Kunda adalah lambang pengorbanan. Mengapa persembahan dimasukkan dalam api, hal ini disebutkan dalam Purana, bahwa Dewa Agni (disimbulkan dengan api) adalah lidahnya Tuhan. Sehingga maknanya adalah jika persembahan disampaikan melalui lidah Tuhan, maka persembahan tidak akan nyasar ketempat lain.
Ini disebutkan dalam petikan mantra  Reg Veda I.1.1
Agnimile Purohitam, yajnasya devam rtvijam
Hotaram ratnadhatanam
Arti :
“oh deva Agni, Engkau sebagai Pendeta Utama, dewa pelaksana upacara yajna, kami memuja-Mu, Engkau pemberi Anugrah berupa kekayaan yang utama”
Maknanya adalah bahwa dewa Agni berfungsi dan bertugas sebagai Purohita (Pendeta Utama), maka dapat disimpulkan bahwa tanpa dewa Agni berarti semua upacara persembahan akan sia-sia belaka. Kalau dikaitkan dengan yajna di jaman sekarang tidak akan lepas dari api itu sendiri.
YANG MELAKUKAN PERSEMBAHAN
Disebutkan dalam Kitab Satapathabrahamana : “Mereka (Tuhan) mengatakan siapa yang melakukan pemujaan kepada Beliau, para Brahmana yang mempersembahkan kepada Beliau. Lalu apa yang diberikan, yang diberikan adalah persembahan Agnihotra dan yang ditinggalkan dalam sendok besar adalah sisa (ucchista) dari Agnihotra. Yang tersisa dalam mangkok adalah beras yang dituangkan dari wadahnya.
JENIS – JENIS AGNI
Ada beberapa Jenis Agni, yaitu :
1.     Ahavaniya Agni ; yaitu api suci untuk memasak makanan
2.     Grhapatya Agni ; yaitu api upacara perkawinan untuk menjaga kesucian perkawinan
3.     Cita Agni; yaitu api suci untuk membakar mayat
FUNGSI AGNIHOTRA
Pada hakekatnya Agnihotra adalah upacara multifungsi. Secara garis besar kehidupan manusia dibagi menjadi dua yaitu :
a.     kewajiban; yaitu berupa perintah Tuhan yang harus dilaksanakan oleh umatnya
b.     tindakan yang dilakukan  berdasarkan untuk pemenuhan kebutuhan/keinginan
Demikian pula upacara Agnihotra dilakukan untuk :
1.     Nitya Karma  (sebagai kewajiban)
Nitya karma adalah sebuah kewajiban yang harus dilakukan seseorang sebagai penganut Hindu. Dari kewajiban ini dapat diketahui bahwa semua tugas mulia tersebut berguna untuk membersihkan diri dan selalu melakukan pencerahan hidup. Ada enam hal penting yang menjadi tugas pokok yang harus dilakukan sebagai pelaksanaan Nitya Karma, yaitu :
a.     Dewa Puja
b.     Melaksanakan Homa dan Belajar sastra Agama
c.     Melayani Orang Tua
d.     Memberi pelayanan kepada binatang, orang miskin dan orang tak punya
e.     Melayani Guru, Athiti
f.      Meditasi
2.     Naimitika Karma/Kamya Karma (sebagai bentuk keinginan pada kebaikan)
Naimitika Krma atau sering disebut Kamya Karma adalah suatu kegiatan yang dilakukan  berdasarkan keinginan.
3.     Mencapai Pembebasan
Disebutkan dalam  Aitraiyabrahmana, 5,31,2 bahwa jika dia melakukan persembahan sebelum matahari terbit, ini seperti memberikan pada seseorang seekor gajah, ketika tangannya tidak menjulur keluar. Tetapi jika mempersembahkan setelah matahari terbit, ini seperti memberikan sesuatu pada seseorang seekor gajah setelah ia menjulurkan tangannya. Oleh karean itu, harus dilakukan pada saat matahari terbit yang akan membawanya pada Surga.
4.     Penebusan Dosa
Disebutkan dalam Satapathabrahamana 2.3.1.6 bahwa seperti seekor ular bisa bebas dari kulitnya, demikian pula ia membebaskan dirinya dari kejahatan malam hari, demikian pula halnya yang mengetahui dengan melakukan persembahan Agnihotra ia akan bebas dari kejahatan. Penjelasan tentang pembebasan dari kejahatan dan dosa dapat dilakukan dengan melaksanakan agnihotra pada saat matahari terbenam. Ini disebutkan dalam kitab-kitab suci Jaiminiyabrahmana I.8;I.9-10 dan masih banyak kitab lainnya.
5.     Homa Therapy
Homa Therapy berarti penyembuhan. Ini ditimbulkan karena efek pelaksanaan Homa di udara. Methodenya adalah harmonisasi putaran energi yang sederhana dari planet. Seorang ahli menjelaskan bahwa reaksi kimia yang terjadi ketika pyramid api Agnihotra membakar semuanya. Yang terpenting adalah radiasinya, kita tahu aspek kimia dari api dimana bagian akhirnya didapatkan H2O, CO2 dan CO. Kemudian ada sinar dan sinar infra merah. Ini adalah pemandangan klasik. Jika dilihat struktur yang lebih halus dari api, maka didapatkan lompatan-lompatan electron dari satu atom pada atom lainnya (seperti sinar dari lampu) dan ini merupakan emisi pada level yang sangat halus dengan serangan tiba-tiba yang kuat  seperti teori quantum modern.
WAKTU YANG TEPAT MELAKSANAKAN AGNIHOTRA
Waktu pelaksanaan agnihotra yang baik sangat tergantung pada jenis upacara agnihotra yang dilaksanakan, yaitu :
1.     Waktu untuk Nitya Karma
Pelaksanaannya ditentukan oleh keberadaan matahari yaitu matahari terbit atau terbenam. Seperti disebutkan dalam beberapa kitab suci, yaitu :
a.     Kitab Katakasamhita;6,5;54-4 disebutkan “ dia hendaknya melaksanakan agnihotra di sore hari ketika saat matahari terbenam, pagi hari ketika matahari belum terbit”
b.     Maitrayanisamhita I.8,7 ; 129-9 disebutkan “agnihotra hendaknya dilaksanakan pada saat malam tiba dan pagi hari setelah matahari terlihat bersinar terang”
2.     Waktu untuk Naimitika Karma
Waktu pelaksanaan agnihotra dalam rangka Naimitika Karma sedikit berbeda dengan waktu sandhya agnihotra atau Nitya Karma. Pada Kamya atau Naimitika Karma, agnihotra dilaksanakan sesuai dengan waktu yang dipilih oleh Yajamana dan Purohita.
CARA KERJA AGNIHOTRA
Prinsip keseimbangan sangat dominant dalam kerja Agnihotra. Seperti proses terjadinya hujan, dimana Air laut menguap karena panas matahari, membentuk awan tebal, terbawa angin kearah pegunungan, karena dingina membentuk titik-titik air, jatuh menjadi hujan, memberikan kesuburan kepada hutan. Air hujan meresap dan disimpan oleh lapisan hutan, mengalir mengikuti aliran sungai dan berakhir di samudra. Siklus ini terulang terus, tiada henti. Dengan adanya hujan ini maka kelangsungan hidup semua mahluk hidup menjadi terjaga. Demikian juga kerja agnihotra dengan menyalakan api suci, dimana persembahan utama ghee, biji-bijian, dan bunga-bungaan, semua keharuman ini terbawa oleh asap yang bergabung bersama awan, kemudian menjatuhkan hujan. Hujan mendatangkan kesuburan, kesuburan ini dinikmati umat manusia dalam menjalani hidupnya di dunia.
Pernyataan ini termuat disebutkan dalam Atharvaveda VIII.107.1

ava divas tarayanti, sapta suryasya rasmayah
apah samudriya dharah
Arti :
”tujuh sinar matahari, mengangkat uap air dari samudra naik ke langit dan semuanya itu menyebabkan turunnya hujan”
YAJAMANA
Kitab Baaudhayanasratasutra;3.5.13 menyebutkan ”aham yajamano ma risam” artinya ”persembahan yajamana akan dilaksanakan oleh pendeta”. Awalnya, Agnihotra yang sederhana dilaksanakan oleh yajamana pada api sucinya sendiri, bisa dibandingkan dengan yang dilaksanakan di rumah-rumah dimana penjabarannya berdasarkan Srauta Agnihotra, tetapi untuk kelanjutan bentuk yang lebih lama dari ritual api suci.
YAJNA SEBAGAI PUSAT ALAM SEMESTA
Yajna dikatakan sebagai suatu sarana untuk mengembangkan sesuatu dari ketidakberaturan menjadi teratur. Teratur ini dimaksudkan ada suatu patokan atau titik tolak yang dapat digunakan dalam pelaksanaannya. Oleh karena Yajna merupakan sumber aturan dan efisiensi, maka hal ini diagungkan sebagai ”Pusar Alam semesta” seperti disebutkan dalam Regveda I.164.35
Iyam vedih paro antah prthivya ayam yajno bhuvanasya nabhih, ayam somo Vrishno asvasya reto brahmayam vacah paramam
Arti :
”Altar (kunda pemujaan) adalah tempat tertinggi di bumi, tempat yajna (kunda) adalah putsat alam semesta. Persembahan berupa daun-daun atau rerumputan akan menyuburkan bumi dengan jatuhnya hujan secara teratur, Oh Tuhan, Engkau adalah Mahakuasa dan tersuci diantara semuanya”
Makna sloka ini, dimana ada satu kalimat ”yajno bhuvanasya nabhih” artinya ”dimana ada pusat, disana ada bundaran (mandala) yang mengelilinginya. Pusat budnaran membentuk bagian integral dari lingkaran yang sama, dan masing-masing menjadi yang lain. ”bhuvanasya nabhih” = ”pusat alam semesta” adalah diskripsi dan sekaligus definisi yajna dalam segala bentuk manifestasi. Sedangkan satya merupakan prinsip utama yang memungkinkan beroperasinya kekuatan-kekuatan menghadapi ketidakbenaran atau kekacauan. Yajna adalah pernyataan tentang deva atau prinsip sattvik menghadapi asura-asura atau kekuatan-kekuatan yang negatif.

DUDUK MELINGKAR, MENGELILINGI KUNDA
Dari penjelasn di atas, maka bentuk pelaksanaan agnihotra, pemimpin upacara, yajamana, serta peserta lainnya duduk mengelilingi kunda, sebagai pusat alam semesta. Kunda pemujaan adalah tempat tertinggi dan pusat alam semesta. Sedangkan pendeta, yajamana dan peserta lainnya duduk sejajar di tanah, menyimbolkan persamaan kedudukan di mata Tuhan. Sebab, bekal manusia setelah meninggal hanyalah karma sewaktu hidupnya atau karma yang tersisa dari kehidupan masa lalu.
Dijelaskan dalam Regveda I.1.4, mengapa peserta agnihotra duduk melingkar mengelilingi kunda atau Vedi
Agneyam yajnam advaram, visvatah pariburasi sa
Id devesu gacchati
Arti
Dengan persembahan tanpa himsa, persembahan dilakukan dari segala arah, semoga sampai kepada para deva-deva
Makna persembahan dilakukan dari segala arah, menunjukkan bahwa kunda menjadi pusat persembahan, karena pusat alam semesta ada pada api suci. Hal  ini tentu saja berbeda dengan pola pemujaan yang mengambil Purana sebagai sumber. Karena adanya lingga atau di Bali lingga diletakkan di pelinggih, sehingga pemujaan dilakukan menghadap pelinggih. Perbedaan ini muncul ketika pemujaan berpusat pada api suci pada Agnihotra.
Dalam perkembangannya maka sang yajamana dengan tulus mempersembahkan persembahan kepada deva-deva dan selalu mencari persahabatan kepada deva-deva, ini akan meningkatkan kemuliaan hati dan pribadi sang yajamana, maka dengan mantra permohonan atau doa berikut sang yajamana menyatakan ketulusikhlasan dalam beryajna. Seperti disebutkan dalam Regveda I.89.2 tentang hubungan atau korelasi yang dilakukan yajamana dengan para deva;
Devanam bhadra sumatir rijuyatam devanam ratir abhi no ni vartatam, devanam  sakhyam upa sedima vayam deva na ayuh pra tirantu jivase
Arti :
Semoga Tuhan yang Mahabijaksana selalu melindungi kami. Kami dengan tulus ikhlas telah membina hubungan yang intim dengan pada deva dan mudah-mudahan para deva memperpanjang hidup kami sehingga dapat hidup selamanya
Disini jelas sekali harapan tersebut ditumpukkan pada para deva, terutama dalam timbulnya keingina untuk hidup lama, kekayaan, kemakmuran dan bentuk keunggulan lain yang kiranya dapat diraih. Tentu semua ini bermanfaat jika semua anugerah tersebut dapat digunakan untuk tujuan kebaikan dan akan menjadi bumerang jika digunakan untuk ketidakbaikan.
Seperti biasa, setealah upacara Agnihotra berakhir disertai pula dengan ”Nagarasankirtana”, kalau dibali disebut ”Purwa Daksina”. Dimana berjalan mengelilingi pusat yajna dari arah Timur ke Selatan dengan mengucapkan Bumi Sukta atau Prthivi Sukta, Purusa Sukta dan Nasadiya Sukta. Sukta ini sering ini juga diganti dengan Maha Mantra atau bhajan atau kirtan atau dengan ista dewata tertentu untuk ikut serta hadir dan menganugerahkan rahmatnya kepada sang yajamana.
KESIMPULAN
Dari ulasan singkat diatas ternyata banyak manfaat langsung dan tidak langsung Agnihotra tersebut. Dapat dijelaskan beberapa efek yang berkaitan langsung dengan diri pribadi, terutama kalau kita berpegang dengan pelaksanaan agnihotra tersebut. Tradisi kuno pengetahuan Veda menjelaskan manfaat yang didapatkan dari Agnihotra (Paranjpe, Homa Therapy, the last chance, 1989) Antara lain :
  • Agnihotra membuat pelaksana yajna (yajamana) inteligensianya meningkat. Sel-sel otaknya berganti dengan yang baru. Terjadi penyegaran kulitnya, terjadi pembersihan pada darahnya. Bergairah dalam hidupnya.;
  • Agnihotra dapat menetralkan  serangan bakteri;
  • Banyak energi positif dan energi kesehatan yang keluar dari pelaksanaan Agnihotra ini;
  • Power kehidupan lahir dari api Agnihotra ini, hanya pada waktu itu dalam lingkaran tersebut ada banyak sekali kekuatan datang dari Agnihotra ini yang dapat merubah struktur dan formasi dari semua atom, sehingga semua substansi, bahan-bahan menjadi universal.
  • Agnihotra seperti sebuah magic. Ia merupakan daya tarik yajamana, sehingga mencengkramnya dan kemudian dia kelihatan bersinar (tejas)




PAWETONAN / OTONAN 

 

 

 

Menurut pandangan ajaran Hindu Bali (Çiwa Buda), kelahiran kembali menjadi manusia SANGATLAH BERUNTUNG dan MULIA walaupun masih membawa Karma Wasana kehidupan terdahulu. Akan tetapi masih jauh lebih baik jika dibandingkan kelahiran (numitis/reinkarnasi) menjadi binatang atau tumbuh-tumbuhan. Setelah lahir menjadi manusia, kita dipengaruhi kekuatan TRIPRAMANA yaitu SABDA (suara), BAYU (tenaga), IDEP (pikiran). Dari sinilah kita sebaiknya berpikir, ADAKAH YANG MELAHIRKAN? ADAKAH YANG DIAJAK LAHIR? APA YANG SEBAIKNYA DILAKUKAN SETELAH LAHIR?



Melalui pertanyaan-pertanyaan inilah sesungguhnya para Janadharmika (orang yang mematuhi ajaran agama) atau umat, mulai menghayati diri sendiri dan mencari jawabannya yang belum tentu ditemukan pada semua ilmu pengetahuan di dunia kecuali pada DIRI SENDIRI dengan bantuan sebuah CERMIN yaitu Ajaran Agama.



Sesungguhnya hari lahir ke bumi merupakan JALAN BY PASS bagi JIWA dari BWAH Loka menuju BHUR Loka (Mercapada) ini, untuk mengambil kesempatan yang diberikan oleh Sang Hyang Widhi dalam rangka MEMPERBAIKI KARMA WASANA dari hasil karma di kehidupan yang terdahulu. Reinkarnasi Jiwa ke bumi ini mengambil bentuk badan kasar/jasad. Sebagai bukti adanya kelahiran dan kehidupan di bumi ini tergantung kepada karmanya masing-masing Jiwa. Ada yang mengambil bentuk manusia, ada bentuk binatang dan ada juga yang mengambil bentuk tetumbuhan. Hal ini dapat diketahui secara nyata berdasarkan penganalisaan dan penelitian secara seksama dan mendalam serta harus didasari oleh keyakinan dan kepercayaan Hindu Bali tentang ajaran SAMSARA, misalnya :

Dengan sosok tubuh manusia, tetapi jika yang bersemayam di dalamnya adalah Jiwa yang sebelumnya adalah Jiwa dari binatang, dapat dilihat dari perilakunya. Maka dari itu ada manusia yang berperilaku seperti binatang, seperti manusia bersetubuh dengan binatang, bersetubuh dengan anak kandungnya sendiri, sebagai pembunuh yang kejam dan sadis, membunuh dan menganiaya orang tua kandungnya, dll.



Dari salah satu contoh yang diungkapkan di atas inilah memerlukan upacara pawetonan sebagai penetralisirnya yang disebut "BEBAYUH OTON", karena kata bayuh dapat diartikan sebagai bayah yang maksudnya untuk menetralisir sifat-sifat kebinatangan (Asubha Karma) atau GAMIA dan GAMIA GEMANA. Jiwa binatang bisa bersemayam pada tubuh manusia karena pada saat ia menjadi binatang mendapat PENYUPATAN dari manusia pada saat dibunuh untuk sarana YADNYA (kurban suci). Untuk lebih jelasnya berikut ini adalah salah satu petikan dari sumber ajaran agama Hindu Bali :

Sa, ba, ta, a, i, ih, kita sang dua pada muah sang catur pada, ingsun umawak Sang Hyang Shiwa Dharma, ayupa sira, apan kita anadi yadnya aja mamilara ring sang adruwe yadnya rengenang tutur mami ri sira, ingsun amretista sira, metu sira ring awak walunan mangaliha sira sunia mangetan, muang mangidul, aja lupa sira ring tutur kepatian pasang sarga ta sira ring Bharata Iswara, muang Bhatara Brahma, riwekasan numadi sira manadimanusa pradnyan, wiku dharma, muah manadi manusia sidhi, sakti, mawibawa, lah poma, ah, ... ang, ... e,...

(Pemujaan Pepada, 23 koleksi Ida Pedanda Gede Kekeran Pemaron).



Menyimak dari isi petikan di atas, dapat diambil pengertiannya bahwa Jiwa itu adalah sama, yang membedakan hanyalah getaran Karma Wasananya yang berbeda-beda. Hali ini seperti molekul-molekul, bentuk molekulnya sama tetapi sifat molekulnya yang berbeda-beda. Demikian juga Jiwa yang bersemayam pada manusia dapat bersemayam pada sosok binatang pada perjalanan reinkarnasi berikutnya akibat karmanya semasa hidup yang lebih sering berbuat jahat atau buruk (Asubha Karma) atau diibaratkan seperti BURUNG BEO, mampu berbahasa seperti manusia namun tidak memahaminya. Jika Jiwa tetumbuhan bersemayam pada sosok tubuh manusia saat reinkarnasi maka menjadi manusia yang idiot, secara umum, orang idiot kalau makan harus disuapi, mandi tidak bisa sendiri, hanya memiliki EKA PRAMANA (BAYU) saja, tidak bisa melakukan kegiatan untuk dirinya sendiri. Demikian pula sebaliknya, jika Jiwa manusia bersemayam pada bentuk tetumbuhan, maka menjadi tetumbuhan yang utama seperti yang bisa untuk obat-obatan (USADHA), Pohon Beringin, Pohon Cendana, Bunga-bungaan, dll.



Dari uraian di atas, dapat diambil maknanya bahwa menjadi manusia sangatlah utama dan mulia. Maka sangat perlu memperhatikan, menghayati dan mengamalkan SWADHARMA-nya sebagai manusia. Termasuk melaksanakan peringatan upacara pawetonan setiap enam bulan sekali sesuai dengan hari dan wuku kelahirannya. Di masa sekarang, apakah karena pengaruh jaman khususnya Janadharmika Hindu Bali (Çiwa Buda) dalam BUDAYA PAWETONAN TELAH MENGALAMI EROSI. Dengan melihat di lapangan banyak umat Hindu Bali (Çiwa Buda) malas membuat upakara pawetonan. Lebih senang mencari yang praktis yaitu mengadakan peringatan HARI ULANG TAHUN, padahal ulang tahun tersebut adalah di luar kepercayaan Hindu, bahkan sering kali perayaan ulang tahun justru menghabiskan biaya yang jauh lebih besar daripada membuat upakara Pawetonan.



Sesungguhnya upakara pawetonan tersebut telah mengandung kekuatan magis, dimana kekuatan magisnya itulah sebagai penetralisir kekuatan-kekuatan magis manusia yang cenderung bersifat asubha karma, untuk dikendalikan ke arah subha karma agar selaras dan seimbang dengan Bhuwana Agung sesuai dengan swadharma-nya sebagai manusia. Untuk lebih jelasnya berikut ini adalah pendekatan berdasarkan salah satu sumber ajaran Hindu Bali (Çiwa Buda), yaitu :

"Sang Ukir, wateknia 18, uripnia 7, pengawak Shiwa, dadi Sang Butha ngawe waringin kekayonia, waruya manuknia, lintangnia lintang bade, memes rambutnia, ireng warna awaknia, someh budinia, tama ambeknia, gedongnia menga, lumbungnia misi, pinilara den sang butha ngawe, larania, rumpu, watuk, weteng mamarning pinilara desang butha ngawe, denia anglidrangi Sang Hyang Baskara, panudaning lara diniyus kinurungan ring tegal pinggiring alas ring pawetonania kwehing toya, 17 pancoran, pujania "Shiwa Gemana." "

(Lontar Udayadnya, lembar ke 25)

Artinya :

Orang yang lahir pada wuku Ukir, memiliki karakter atas pengaruh 18 bintang dengan kekuatan 7 mudra (perputaran bumi), kayunya beringin, burungnya warunya, pengaruh buruknya adalah kecongkakan, rambutnya halus, warna kulitnya kehitaman, berbudi, ramah, penyabar, agak boros walaupun punya rejeki, dewanya Hyang Shiwa, Buthanya Sang Butha Ngawe, disakiti oleh butha ini karena dia lahir mendahului terbitnya Sang Hyang Surya, sakitnya lumpuh, batuk-batuk, sakit perut, sebagai penetralnya harus melakukan penyucian diri pada hari pawetonan tempatnya pada kebun di pinggir hutan, dengan pengastawa (Stawa) "Shiwa Gemana".



Mengambil makna dari isi petikan lontar di atas bahwa upacara tersebut memiliki magis sebagai penetralisir asubha karma agar manusia memiliki keseimbangan dengan TUHAN-nya, keseimbangan dengan LINGKUNGAN-nya, dan keseimbangan ANTAR MANUSIA-nya. Disamping itu upacara pawetonan memiliki fungsi penyucian secara Jiwa Raga yang memiliki tujuan untuk mencapai KEDAMAIAN DI HATI, DI BUMI dan DI NISKALA. Hal inilah yang menjadikan konsep yang paling mendasar dalam mencapai :

MOKSHRTAM JAGADITHA YA CA ITI DHARMA dan MOKSHRTAM ATMANAM.



Konsep ini memberikan salah satu pengertian bahwa, selama hidup di bumi harus selalu berbuat untuk kebajikan (subha karma), tetapi karena ada JERAT sebagai MAYA nya Sang Hyang Widhi untuk mematangkan Jiwa manusia, maka manusia dibelenggu kekuatan maya tersebut. Sekarang tergantung dari kejelian dan instrospeksi diri dari belenggu masing-masing manusia, agar mampu melepaskan diri dari belenggu tersebut, termasuk PENGHAYATAN dan PENGAMALAN UPACARA PAWETONAN.

TATTWA PAWETONAN



Untuk memahami tattwa pawetonan, ada baiknya terlebih dahulu kita membahas tentang kelahiran manusia berdasarkan tuntunan ajaran Agama, antara lain :



1. Tri Angga

Manusia yang lahir ke bumi adalah dalam bentuk 3 (tiga) badan (Tri Angga) yaitu :



a. Suksma Sarira

Badan Suksma Sarira ini dibentuk atman karena atma merupakan percikan dari Sang Hyang Widhi (Parama Atma), kemudian di dalam diri manusia atman bermanifestasi memberi kehidupan kepada Jiwa dan Raga, serta memiliki kemurnian, kesadaran mutlak (Cetana) sesuai dengan kemurnian Sang Hyang Widhi.



b. Anta Karana Sarira (Jiwa)

Jiwa merupakan percikan dari atman, sebagai badan penggerak (Badan Penyebab), dan pada mulanya memiliki kesucian yang sama dengan atman. Setelah ada proses pertemuan antara Jiwa dengan raga ini, maka Jiwa pun dipengaruhi oleh karma wasana, sehingga kemurnian Jiwa ini menjadi berubah (yaitu tertutupi oleh debu2 dosa yang menempel). Dengan perubahan ini maka badan ini disebut Roh.



c. Stula Sarira (Badan Kasar/Raga)

Badan ini terbentuk oleh Panca Maha Butha, yang dihidupkan oleh badan atman dan sebagai badan penggeraknya adalah roh, sehingga manusia kelihatan hidup dan bisa berkarma (berbuat).



Dari uraian di atas, maka diperlukannya pelaksanaan Upacara Pawetonan untuk menetralisir asubha karma yang merupakan efek dari ketidakmurnian Jiwa tersebut. Dari ketiga badan tersebut sesungguhnya memiliki kekuatan magis, dan masing-masing kekuatan memiliki manifestasi dan swabhawa masing-masing.



Atma memiliki swabhawa sebagai "Mahat" yaitu ranah pikiran yang tertinggi (Supra Sadar) yang kemudian muncul sebagai Intuisi, yang merupakan kesadaran asli Sang Hyang Widhi (Cetana). Sehingga manusia memiliki kekuatan Supranatural, dan mencerminkan perasaan damai, tentram dan sifat-sifat Super Egois. Sedangkan Jiwa memiliki swabhawa sebagai "BUDHI" dalam istilah bahasa sansekerta, berasal dari akar kata kerja "BUDHH" yang bermakna KECERDASAN, mengetahui, memahami, berpikir dan bijaksana.



Menurut pandangan tattwa sehubungan dengan perubahan ranah pikiran manusia dengan fungsi untuk mengklasifikasikan dan menentukan segala keputusan yang baik, maka sangat dibutuhkan bahwa manusia memiliki kejiwaan yang baik. Manusia harus dapat meningkatkan nilai kesucian diri, dari segala cara termasuk pelaksanaan upacara pawetonan, karena dari sini sumber timbulnya tingkat moral yang baik. Seseorang yang selalu bertindak berdasarkan atas keputusan buddhinya adalah orang yang bijaksana. Dari sini juga mencerminkan kecemerlangan serta perasaan suka.



Stula Sarira memiliki swabhawa sebagai "AHAMKARA", yang merupakan kelanjutan proses dari mahat juga, yaitu terdapat di bagian dalam ranah pikiran yang merupakan alat untuk dapat merasakan berpikir dan berbuat. Menurut sifat dan fungsinya, ahamkara ini dapat digolongkan menjadi tiga bagian antara lain :
Ahamkara-Waikrta

Ahamkara ini merupakan bagian dari pikiran yang bersifat Sattwam dan dari Manah (akal) beserta indrianya, berfungsi untuk berpikir dan merasakan sesuatu.
Ahamkara-Taijasa

Ahamkara ini juga merupakan bagian dari pikiran yang bersifat Rajasa (Aktif dan Dinamis) berfungsi untuk membantu gerak atau berbuat sehingga dapat mencerminkan sifat aku (egois) dan sifat pemarah.
Ahamkara-Bhutadi

Ahamkara ini juga merupakan bagian dari pikiran yang bersifat Tamas (Lamban) dan berfungsi untuk menumbuhkan unsur-unsur raga (Panca Maha Bhuta). Hal inilah yang membawa sifat malas, kebingungan, kelaparan dan sakit.



Sangka ring budhi metu sang ahamkara, telu prakarania, luirnia, satwika, rajasa, tamasa. Nahan bedania si waikrta yeka satwika, si taijasa yeka rajah, si bhutadi yeka tamah. Sangka ring ahamkara si waikrta metu tang manah lawan dasendriya, luwirnia, srota, twak, caksu, jihwa, ghrana wak, pani, pada, payu, uphasta. Sangka ring ahamkara si bhutadi metu tang panca tan matra, ikang ahamkara si taijasa yeka umilu mametwaken karyan ikan ahamkara si waikrta lawan si bhutadi, apan maka swabhawa mangulahaken.



Artinya :

Dari budhi muncullah ahamkara, ada tiga macam yaitu, satwika, rajasa, tamasa, bedanya adalah ahamkara si waikrta bersifat satwika, ahamkara si bhutadi bersifat tamak. Dari ahamkara si waikrta timbullah manas (akal) dasendria yaitu srotendriya, twakindriya, cakswindriya, jihweindriya, ghranendriya, wagindriya, panindriya, padeindriya, paywindriya, uphastendriya. Dari ahamkara si bhutadi timbullah panca tan matra (panca maha bhuta), sedangkan ahamkara si taijasa turut membantu menimbulkan aktivitasnya ahamkara karena bersifat menggerakkan.



Sehingga dari uraian di atas maka manusia lahir ke bumi adalah terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut :
Dari unsur Sang Hyang Widhi dengan adanya Atma, sehingga manusia kelihatan hidup dan memiliki kekuatan supranatural, memiliki intuisi, memiliki rasa bahagia, tentram dan damai, serta berpikiran suci.
Dari unsur Dewa (Dewa Oton) dengan adanya Jiwa sebagai badanpenyebab, sehingga manusia bisa beraktivitas, memiliki perasaan gembira dan suka, memiliki kebijaksanaan, bisa mengasihi dan memiliki pancaran KHARISMA (Taksu).
Dari unsur karma wasana yang dibawa dari kehidupan terdahulu, sehingga manusia memiliki perasaan sedih, bisa menangis, sabar, serta adanya PITARA.
Dari unsur Panca Maha Bhuta, dengan adanya sosok tubuh manusia mengakibatkan manusia mengalami kegelapan atau kebingungan (Unsur Bhuta), bisa marah (Unsur Kala), dan bisa sakit (Unsur Durga). Hal inilah yang lebih berpengaruh sehingga manusia bisa berbuat adharma (asubha karma).



Sehingga secara keseluruhan manusia saat hadir di bumi ini terdiri dari Atma, Dewa (Dewa Oton), Watak Apsari, Pitara (Getaran Karma Wasana), Bhuta, Kala dan Durga. Dikatakan adanya atma karena manusia hidup, dewa mencerminkan manusia dapat berbuat kebajikan, ada watak apsari karena manusia memiliki perasaan riang, suka cita, ada unsur bhuta kala mencerminkan bahwa manusia bisa kegelapan, kemarahan, berbuat yang tidak terpuji (asubha karma) dan yang terakhir adalah unsur durga yang mencerminkan manusia bisa sakit dan mati (pralina).



Semua unsur ini berpengaruh terhadap manusia secara positif atau pun negatif. Adapun pengaruh ini tercermin melalui Tri Kaya yaitu Kayika (perbuatan), Wacika (perkataan) dan Manacika (Pikiran). Maka Tri Kaya ini harus disucikan (Tri Kaya Parisudha) melalui pengamalan ajaran Catur Yoga yakni :
Jnana Yoga, dengan belajar untuk meningkatkan pengetahuan dari segala aspek untuk mengimbangi kebodohan.
Karma Yoga, dengan perbuatan sebaiknya selalu mengarah pada kebajikan, karena setiap kebajikan adalah Dharma.
Bhakti Yoga, sebaiknya selalu memiliki pemikiran bahwa korban suci (Yadnya) yang dilandasi dengan sembah yang penuh ketulusan hati ke hadapan Sang Hyang Widhi.
Raja Yoga, melakukan Tapa, Brata, Yoga dan Samadhi yang juga merupakan Dharma.

Keempat pengamalan tadi sesungguhnya telah saling terkait menjadi satu kesatuan yang memiliki integritas yang tinggi di dalam setiap kegiatan keagamaan, karena memiliki kekuatan magis sebagai sarana PELEBURAN DOSA manusia.